Feature Human Interest : Kisah Seorang Pengrajin Emas


Terik matahari begitu panas. Terdengar suara pukulan palu dari sebuah gubuk kecil yang sederhana.  Terlihat seorang pria paruh baya yang tengah duduk didepan tungku api yang membara.  Suasana semakin panas, terlihat tetesan keringat berkucur deras dari tubuh pria paruh baya itu. Suara pukulan palu semakin bergema, menandakan semakin keras pula besi yang dipukul.

Pria paruh baya itu adalah bapak Sipriano yang berusia 64 tahun, Ia bekerja sebagai seorang pengrajin perhiasan emas sejak usianya masih remaja. Ia tinggal bersama keluarganya di sebuah perkampungan kumuh yang terletak di desa Kabuna, kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.

Pak Sipriano lahir di Atasabe, salah satu perkampungan di negara Timor Leste pada 31 Desember 1956. Ia bersama keluarga memilih menjadi bagian dari NKRI sejak perang kemerdekaan Timor Leste pada tahun 1999.

Kehidupan bapak Sipriano sejak pengungsian dari Timor leste ke Indonesia, masih amat memprihatinkan. Mengandalkan tenaganya di usia yang tidak mudah lagi, untuk mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari, dan menyekolahkan anaknya.

Bapak Sipriano memiliki seorang istri dan dikaruniai eman orang anak. Kini anaknya yang pertama, kedua, dan ketiga sudah berkeluarga dan memiliki penghasilan sendiri untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sedangkan anak ke empat dan kelima memilih untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. Dan anak bungsu mereka sedang melanjutkan pendidikan disalah satu perguruan tinggi di Kota Kupang.

Bapak Sipriano bagaikan Thor yang ada di film Marvel, Ia selalu menggunakan palu sebagai alat untuk memukul bongkahan emas bercampur perak yang amat keras. Terlihat dari kedua telapak tangganya, bekas-bekas luka memar akibat sayatan genggaman palu menjadi tanda bahwa pekerjaanya sebagai seorang pengrajin tidak semuda yang kita bayangkan.

Menggunakan alat-alat sederhana seperti palu dengan ukuran yang beragam, pipa berukuran satu meter sebagai alat untuk meniup api/ lingkaran tungku api berukuran roda motor, dan alat-alat lainnya yang digunakan bapak Sipriano untuk membentuk sebuah pola perhiasan yang cantik.

Bahan-bahan yang digunakan seperti emas dan perak bukan berasal dari bapak Sipriano, melainkan berasal dari pelanggannya yang ingin membuat perhiasan. Motif perhiasan yang diinginkan pun sangat beragam, mulai dari motif kalung anting, gelang, cincin, dan Kabelak (perhiasan emas yang berukuran bundar tipis, yang sering digunakan untuk mahar dalam sebuah upacara adat suku Timor). Upah yang dibayar pun tak sebesar tenaga yang dikeluarkan untuk membentuk sebuah perhiasan yang memakan waktu berhari-hari.

Pak Sipriano menuturkan bahwa upah yang diberikan sangat beragam, mulai dari lima puluh ribu untuk ukuran perhiasan kecil, seratus ribu sampai dua ratus ribu untuk perhiasan yang ukuran sedang, dan tiga ratus ribu sampai lima ratus ribu untuk ukuran perhiasan yang besar. Namun, bapak Sipriano juga menuturkan bahwa Ia ikhlas menerima berapa pun upah yang diberikan pelanggannya, karena menurutnya pekerjaan yang dilakukannya sekarang sebagai bentuk membantu sesama manusia yang membutuhkan.

Dari waktu matahari terbit di ufuk timur hingga terbenam di ufuk barat, segelas kopi hitam menjadi penemani bapak Sipriono dalam menyelesaikan perhiasan pelanggan yang sudah menunggunya. Terdengar suara tipuan yang semakin cepat pukulan palu yang semakin bergema, bapak Sipriono dengan sepenuh tenaga membentuk sebuah pola perhiasan.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan bapak Sipriano dalam pembuatan sebuah perhiasan yang cantik, mulai dari penimbangan emas dan perak menggunakan alat timbangan yang amat sederhana, emas dan perak tersebut kemudian disatukan diatas sebuah piring bulat berukuran kecil, yang terbuat dari kaleng drum minyak yang tidak mudah mencair saat dipanaskan ke api.

Kemudian masuk kedalam tahap pembakaran, dimana emas dan perak yang telah dicampur, dibakar hingga benar-benar meleleh dan menyatu. Setelah itu emas dan perak dikeluarkan dari api, dan di tuangkan diatas cetakan yang telah disediakan, ukuran dan bentuk cetakan pun sangat beragam ada yang berbentuk bulat, ada berbentuk segi empat dan ada juga yang berbentuk oval. Proses akhir adalah pembentukan perhiasan yang membutuhkan ketelitian dan bisa memakan waktu berhari-hari.

Bapak Sipriano dalam akhir perbincangan kami menuturkan bahwa menjadi seorang pengrajin perhiasan tidaklah semudah yang dibayangkan orang-orang, membutuhkan tenaga, ketelitian dan kreativitas tinggi dalam menghasilkan sebuah perhiasan yang cantik. Tidak semua orang yang mau terjun dalam bidang ini meski pun dia memiliki alat yang diwariskan nenek moyangnya. Butuh proses yang sangat panjang dan ketekunan dalam proses belajar dalam membuat sebuah perhiasan, harus rela kulit terbakar karena panas api/ tangan terluka karena memukul palu terlalu lama dan harus kuat menahan asap api yang setiap hari masuk kedalam paru-paru.

Bapak Sipriano berharap, semoga depannya orang-orang jangan menganggap remeh pekerjaan sebagai seorang pengrajin emas karena menurutnya menjadi seorang pengrajin adalah pekerjaan yang sangat mulia dan tidak semua orang menyukai pekerjaan ini. Ia juga berharap semoga ada penerus dari kerajinan yang Ia geluti saat ini/ baik itu dari keluarga sendiri maupun dari orang-orang yang mau bekerja sebagai seorang pengrajin emas.


Penulis : Oktovianus Gomes (Mahasiswa)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INDONESIA DARURAT SAMPAH PLASTIK DI ERA PANDEMI COVID – 19